--> December 2016 | Informasi Viral Bermanfaat

Tuesday, December 27, 2016

Inilah Alasan Dibalik Wacana Mendagri Mengadakan Wajib Militer Bagi Siswa Sekolah Kedinasan

Inilah Alasan Dibalik Wacana Mendagri Mengadakan Wajib Militer Bagi Siswa Sekolah Kedinasan

Inilah Alasan Dibalik Wacana Mendagri Mengadakan Wajib Militer Bagi Siswa Sekolah Kedinasan

Patriot-bangsaPemerintah mewacanakan wajib militer bagi siswa yang bersekolah di Kedinasan baik sekolah dinas dari Kementerian ataupun Instansi terkait.

Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo menjelaskan bahwa hal itu penting diterapkan saat ini, sebagai bentuk antisipasi dari ancaman terhadap negara yang lebih besar.

"Saya pikir ini penting, jadi kalau negara terancam secara fisik, ada yang sudah bisa pegang senjata," jelas Mendagri di Kantor Kemendagri, Jakarta, Senin (26/12/2016).

Beberapa sekolah kedinasan seperti Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN), sekolah Imigrasi dan sekolah-sekolah lainnya, kata Tjahjo, bisa menerapkan wajib militer dalam kurikulum mereka selama paling lama satu semester atau enam bulan.

Menurut Mendagri,  gagasannya bisa diwujudkan sebab dalam seminar yang dilakukan di IPDN beberapa waktu lalu Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo telah menyetujui hal itu.

"Bahkan Panglima bilang kalau akan diberikan pangkat Letnan Dua jika telah selesai mengikuti wajib militer," kata dia.

Wajib Militer, jelasnya, tidak akan dipaksakan ke setiap anggota masyarakat karena hal itu hanya akan diterapkan di sekolah kedinasan saja, bukan untuk sekolah umum lainnya.

Silahkan dishare

Baca Juga




Sumber: tribunnews.com/nasional/2016/12/26/mendagri-wacanakan-wajib-militer-bagi-siswa-sekolah-kedinasan

Sunday, December 25, 2016

Sarwo Edhie Wibowo, Perwira Baret Merah dengan Loreng Darah Mengalir

Sarwo Edhie Wibowo, Perwira Baret Merah dengan Loreng Darah Mengalir

Sarwo Edhie Wibowo, Perwira Baret Merah dengan Loreng Darah Mengalir

Patriot-bangsa - "Hidup Pak Sarwo, hidup Pak Sarwo!"

M Yusuf (80), masih mengingat bagaimana rakyat mengelu-elukan Kolonel Sarwo Edhie Wibowo saat memasuki Jawa Tengah. Kala itu Sarwo memimpin Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) membasmi kekuatan komunis di sana.

Sosok perwira dengan baret merah dan seragam loreng darah mengalir, sebutan loreng khas RPKAD, itu sangat populer di mata masyarakat.

"Seingat saya di Jawa Tengah saat operasi, nama Pak Sarwo lebih terkenal daripada Pak Harto," kata seorang pensiunan prajurit.

Politikus PPP Suharso Monoarfa, mengaku termasuk yang terpesona oleh sosok Sarwo Edhie saat itu.

"Dulu waktu di Malang, usai penumpasan G30S/PKI, saya lihat Komandan RPKAD Sarwo Edhie Wibowo. Gagah sekali," kata mantan menteri perumahan rakyat era SBY itu.

Tanpa Sarwo Edhie Wibowo mungkin tak semulus ini Soeharto membangun Orde Baru. Sarwo sangat berjasa di hari-hari paling menentukan selepas G30S.

Tanggal 1 Oktober 1965, di saat belum jelas siapa kawan dan siapa lawan, RPKAD jadi satu-satunya pasukan yang bisa diandalkan Mayjen Soeharto. Mereka diberi tugas membebaskan RRI dari tangan pasukan komunis dan menguasai Halim.

Sarwo Edhie dan pasukannya pula yang mencari dan menemukan lubang tempat para pahlawan revolusi berada di Lubang Buaya. Beruntung mereka mendapat bantuan dari agen polisi Sukitman. Seorang polisi yang kebetulan ikut diculik gerombolan Letkol Untung tapi tak dieksekusi.

Setelah kekuatan PKI di Jakarta dibereskan, Sarwo Edhie dan pasukannya bergerak ke Jawa Tengah. Tanggal 19 Oktober 1965, dia sampai di Semarang.

Saat itu kekuatan PKI di Jawa Tengah masih kuat. Massa PKI dan pendukungnya masih berani melakukan perlawanan. Di berbagai kota, Sarwo selalu menggelorakan semangat rakyat untuk bergerak melawan PKI.

"Jangan berikan leher kalian secara gratis pada PKI. Kalian lawan PKI. Jika kalian takut, ABRI berada di belakang kalian. Jika kalian merasa tidak mampu, ABRI bersedia melatih," kata Sarwo disambut sorak sorai massa.

Ucapan Sarwo Edhie benar-benar dilakukan. RPKAD melatih pemuda-pemuda maupun aktivis ormas antikomunis. Rakyat ikut bangkit melawan PKI.

Merekalah yang kelak menjadi jagal bagi para anggota PKI, atau simpatisan, atau orang yang dituding sebagai PKI.

Saat Sarwo kembali ke Jakarta, dia merebut hati pelajar dan mahasiswa antikomunis. Sarwo pula memberi jaminan keamanan bagi para aktivis mahasiswa yang berdemo. Pasukan elite baret merah menyamar menjadi orang sipil untuk mengawal para mahasiswa. Para preman bayaran yang akan menyerang mahasiswa pun tak berani bergerak.

"Pak Sarwo sangat dekat dengan mahasiswa. Banyak mahasiswa menemui Pak Sarwo di Cijantung (markas RPKAD). Pak Sarwo juga perintahkan lindungi adik-adik mahasiswa ini," kata Maman (82), mantan anak buah Sarwo Edhie.

Berita soal Sarwo nyaris muncul setiap hari di koran. Sebagian besar berisi pujian atas prestasinya menumpas PKI.

Namun kepopuleran Sarwo rupanya tak disukai sang atasan. Konon tak boleh ada matahari kembar yang membayangi Jenderal Soeharto. Saat karirnya sedang sangat cemerlang, mulai ada upaya untuk membuangnya.

Betapa terkejutnya Sarwo saat mendengar desas-desus dia akan dijadikan duta besar di Rusia. Semua orang tahu Sarwo adalah penumpas komunis. Kini dia diceburkan di negara yang berpaham komunis. Ini seperti sebuah ledekan buat dirinya.

Ani Yudhoyono menceritakan ayahnya sempat terpukul saat mendengar hal itu. Dia melihat Sarwo banyak melamun di depan rumah.

"Suatu hari aku sempat mendengar Papi bicara pada ibu 'kalau aku memang mau dibunuh, bunuh saja. Tapi jangan membunuh aku dengan cara seperti ini'," kata Ani menirukan sang ayah dalam buku Kepak Sayap Putri Prajurit.

Sarwo akhirnya memang tak jadi dijadikan duta besar di Moskow. Namun dia tak pernah mencapai posisi puncak sebagai seorang militer.

Firasat akan dibuang sebenarnya sudah dirasakan Sarwo. Saat menjadi Panglima di Irian, Sarwo berkisah pada Jenderal Hoegeng, yakin tak akan lama lagi dirinya akan dicopot Soeharto.

Soeharto mendengar desas-desus Sarwo Edhie mau menggalang kekuatan untuk mendongkel Soeharto.

"Padahal saya tak melakukan apa-apa, dan tak merencanakan apa-apa," kata Sarwo Edhie pada Hoegeng dengan nada sedih.

Soeharto kemudian mengirim Sarwo menjadi Duta Besar di Korea Selatan dan akhirnya memarkir sang jenderal menjadi Kepala BP7 yang mengurusi ceramah dan propaganda soal Orde Baru dan Pancasila. Sungguh bukan tempat yang cocok untuk seorang perwira militer dengan pengalaman tempur seperti Sarwo.

Meminjam istilah wartawan senior Julius Pour, Sarwo Edhie Wibowo ibarat cerita wayang. Dimasukan kembali ke kotaknya setelah lakonnya berakhir. Sarwo tak sendiri, sejumlah jenderal pembangun Orde Baru yang lain merasakan hal serupa. Dibuang sang dalang setelah lakon mereka selesai.

Silahkan dishare

Baca Juga




Sumber:https://www.merdeka.com
Kisah Heroik Jenderal Sarwo Edhie Memimpin Pasukan RPKAD Memburu PKI di Solo

Kisah Heroik Jenderal Sarwo Edhie Memimpin Pasukan RPKAD Memburu PKI di Solo

Kisah Heroik Jenderal Sarwo Edhie Memimpin Pasukan RPKAD Memburu PKI di Solo

Patriot-bangsa - Setelah menumpas G30S di Jakarta, Pasukan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) bergerak ke Jawa Tengah. Salah satu kota sasaran RPKAD adalah Solo yang saat itu menjadi salah satu basis PKI.

RPKAD mulai memasuki Solo sekitar akhir Oktober 1965. Kedatangan komandan RPKAD Kolonel Sarwo Edhie Wibowo dan pasukannya disambut aksi mogok kerja Serikat Buruh Kereta Api (SBKA) di Stasiun Solo Balapan.

Mereka hanya duduk-duduk di pinggir rel. Kereta dari Yogyakarta, Semarang, Madiun dan tujuan lain tertahan di Solo.

Kolonel Sarwo pun berdialog dengan para buruh tersebut. Wartawan Senior Hendro Subroto melukiskan peristiwa itu dalam buku 'Perjalanan Seorang Wartawan Perang' yang diterbitkan Pustaka Sinar Harapan.

Sarwo yang berkaca mata hitam berteriak. "Siapa yang mau mogok, berkumpul di sebelah kiri saya."

Hening. Tak ada yang bergerak. Sarwo berteriak lagi. "Siapa yang tidak mau mogok supaya berkumpul di sebelah kanan saya. Saya beri waktu lima menit!"

Ternyata semua pekerja itu berkumpul di sebelah kanan Sarwo. Tak ada satu pun yang berdiri di kiri. "Lho ternyata tidak ada yang mau mogok. Kalau begitu jalankan kereta api," kata Sarwo.

Para pekerja itu bergerak ke pos masing-masing. Mogok kerja berakhir, kereta pun berjalan kembali.

Di Jawa Tengah, pasukan ini juga kerap melakukan show of force. Mereka konvoi keliling kota dengan panser dan puluhan truk pasukan RPKAD. Para prajurit melambai-lambaikan tangan dengan ramah pada masyarakat yang semula takut. Strategi itu berhasil, rakyat menyambut sementara para pendukung G30S mulai ciut.

Sekain konvoi, Sarwo juga berorasi di rapat umum yang dihadiri ribuan massa. Sarwo mencoba menggerakan rakyat agar berani melawan PKI.

"Siapa yang bersedia dipotong lehernya dibayar seribu rupiah?" teriak Sarwo. Massa terdiam.

"Sepuluh ribu rupiah?" Massa masih diam.

"Seratus ribu? Sejuta? Sepuluh juta?" lanjut Sarwo pada massa yang terdiam.

"Jika dibayar Rp 10 juta saja kalian tidak mau dipotong lehernya, jangan berikan leher kalian secara gratis pada PKI. Kalian lawan PKI. Jika kalian takut, ABRI berada di belakang kalian. Jika kalian merasa tidak mampu, ABRI bersedia melatih," kata Sarwo disambut sorak sorai massa.

Ucapan Sarwo Edhie benar-benar dilakukan. RPKAD melatih pemuda-pemuda maupun aktivis ormas antikomunis. Rakyat ikut bangkit melawan PKI.

Merekalah yang kelak menjadi jagal bagi para anggota PKI, atau simpatisan, atau orang yang dituding sebagai PKI. Sejarah kemudian mencatat pembantaian massal terjadi di Jawa Tengah dan sebagian Jawa Timur. Sarwo Edhie mencatat korban tewas tak kurang dari 3 juta orang.

Silahkan Share

Baca Juga




Sumber:https://www.merdeka.com
Ketika Tentara AS Sudah Berlatih 8 Jam Sehari, Namun Tak Berkutik Melawan TNI..MENGAGUMKAN.!!

Ketika Tentara AS Sudah Berlatih 8 Jam Sehari, Namun Tak Berkutik Melawan TNI..MENGAGUMKAN.!!

Ketika Tentara AS Sudah Berlatih 8 Jam Sehari, Namun Tak Berkutik Melawan TNI..MENGAGUMKAN.!!

Patriot-bangsa - Sebuah prestasi gemilang kembali dibukukan Tentara Nasional Indonesia (TNI), mereka berhasil menyabet sebagian besar emas dalam lomba menembak internasional di ajang Australian Army Skill at Arms Meeting (AASAM) 2016. Tak hanya itu, TNI juga berpeluang mempertahankan gelar juara umum untuk kedelapan kalinya.

Yang paling membanggakan, prestasi yang mereka bukukan berhasil melampaui peserta dari negara-negara maju. Bahkan dua perwakilan dari AS, hanya satu yang berhasil menyumbangkan medali, yakni USMC dengan satu medali perunggu. Angkatan Darat AS belum sekalipun menyumbangkan medali.

Dalam ajang tersebut, Angkatan Darat AS menerjunkan Team Bayonet. Tim tersebut berusaha melakukan yang terbaik namun belum sekalipun berhasil menyabet emas.

Mereka adalah Staf Sersan John Flynn dan Spc James Griswold, keduanya berasal dari Batalion Pertama, Resimen Infantri Ke-17, Brigade Tim Tempur Kedua, Divisi Infantri Kedua, yang merupakan bagian dari Team Bayonet. Tim ini terdiri atas 18 anggota, yang ikut berkompetisi melawan 16 negara di ajang Australian Army Skills at Arms Meeting.

Ajang ini pertama kali diikuti oleh Divisi Infantri ketujuh AS, serta satu-satunya yang mewakili AS di ajang internasional. Sejauh ini, mereka sudah melalui 84 pertandingan, termasuk tiga kategori utama, yakni Kompetisi Sniper Terbuka, Kompetisi Menembak Untuk AD, AL dan AU, serta Kompetisi Internasional.

"Kami sudah menyelesaikan sebagian di antaranya. Kami bukan penembak runduk terbaik, tapi kami bukan yang terburuk" ujar Griswold, demikian dilansir situs resmi Angkatan Darat AS army.mil, Rabu (18/5).

Tim Bayonet menghabiskan waktu hingga delapan jam sehari, selama dua minggu, untuk mengasah kemampuan senapan dan pistol, mempersiapkan senjata selama kompetisi serta mempelajari paduan kompetisi AASAM.

"Tidak ada satupun dari kami yang pernah bertanding di AASAM sebelumnya, jadi agak membingungkan. Kami menggunakan dua minggu untuk mengetahui apa yang dilakukan selama pertandingan dan berlatih yang kami bisa, mengetahuinya butuh waktu dua hari untuk berlatih sebelum kompetisi dimulai," lanjut Flynn.

Tahun ini, kompetisi melibatkan sejumlah negara dari Eropa, Australia, Asia dan Amerika Utara. Para kontestan berlomba dengan menggunakan pistol, senapan, senapan penembak runduk dan senapan mesin standar militer.

AASAM menggunakan skenario realistis dengan menggunakan target yang digerakkan mobil remot kontrol yang dipasangi target berbentuk kertas atau balon. Mobil remot tersebut bisa bergerak dengan kecepatan sampa 35 mph, pelan, ngebut, berbelok mendadak dan berhenti saat terkena tembak.

"Secara keseluruhan kompetisi ini sangat baik. Banyak pertandingan yang menguji kemampuan kami untuk menembak dalam posisi berbeda dan membidik lebih dari satu target," kata Flynn.

Sayangnya, kompetisi ini mewajibkan seluruh perserta untuk tidak melakukan kesalahan apapun yang berakibat kehilangan poin. Meski belum menunjukkan kualitasnya, Flynn berharap untuk kembali lagi dalam kompetisi yang sama di tahun berikutnya.

"Mungkin satu orang dari Tim Bayonet bisa membantu latihan tahun depan."

Silahkan dishare

Baca Juga



Sumber:http://www.merdeka.com/dunia/sudah-latihan-8-jam-sehari-tentara-as-tak-berkutik-lawan-tni.html

Friday, December 23, 2016

Mengenal Mochammad Idjon Djanbi. Seorang Belanda yang Menjadi Bapak Kopassus

Mengenal Mochammad Idjon Djanbi. Seorang Belanda yang Menjadi Bapak Kopassus

Mengenal Mochammad Idjon Djanbi. Seorang Belanda yang Menjadi Bapak Kopassus

Patriot-bangsa - Idjon Djanbi. Nama yang amat kramat di kalangan pasukan baret merah Indonesia. Mantan prajurit komando Belanda inilah yang mengasah mental dan fisik anggota TNI AD terpilih, untuk pertama kali, dilatih menjadi prajurit tangguh berkualifikasi komando. Sayang, walau terkenal, tak banyak yang tahu soal masa lalunya, bahkan prajurit Kopassus sendiri.

Mochammad Idjon Djanbi lahir di desa kecil Boskoop, 13 Mei 1914 dengan nama Rokus Barendregt Visser. Ia berasal dari lingkungan keluarga petani bunga dan. Berbagai hobi menantang dilakoninya, dari mendayung perahu kayu, balapan mobil, bermain sepak, berkuda bola, bahkan mendaki gunung. Kegiatan ini kerap kali membuat kakek dan neneknya kewalahan mengawasinya. Meski demikian prestasi akademis di sekolahnya lumayan baik.

Beberapa gunung di Eropa telah ia daki, antara lain Gunung Snowdon dan Ben Nervis (Inggris), Mont Blanc (Swiss), beberapa gunung di Jerman Selatan. Gunung-gunung di Indonesia pun tak luput dari perhatiannya, seperti Lawu, Merapi, dan Bromo. Lingkungan keluarga petani membentuk minatnya pada bidang agraria. Ia memperdalam pengetahuannya dengan mengambil kursus agraria di Liverpool, Inggris. Kemudian mempraktikan pengetahuannya sebagai pengusaha ekspor impor bidang agraria dan holtikultura (tanaman hias) tahun 1935-1940.

Perang Dunia II

Pecahnya Perang Dunia II tahun 1939, membuat Visser tidak bisa pulang ke Belanda karena telah dikuasai Jerman. Di usia 25 tahun ia terpanggil masuk dunia militer untuk membela Belanda. Tahun 1940 ia masuk dinas militer sukarela Tentara Sekutu yang berperang melawan Jerman. Tugas pertamanya sebagai tentara adalah menjadi sopir Ratu Wilhelmina. Selang setahun berdinas, ia mengundurkan diri.

Ia lalu mendaftarkan diri sebagai operator radio di Pasukan Belanda ke-2 (2nd Dutch Troop). September 1944, ia merasakan operasi tempurnya yang pertama bersama pasukan Sekutu dalam Operasi Market Garden. Pasukan tempat Visser bertugas termasuk ke dalam Divisi Lintas Udara 82 Amerika Serikat. Ia dan pasukannya diterjunkan melalui pesawat layang, lalu mendarat di wilayah konsentrasi pasukan Jerman. Dua bulan kemudian saat pasukan dikumpulkan kembali, Visser digabungkan dengan pasukan Sekutu lain untuk operasi pendaratan amfibi di Walcheren, kawasan pantai di bagian selatan Belanda.

Pendidikan komando ditempuhnya di Commando Basic Training di Achnacarry di pantai Skotlandia yang tandus, dingin dan tak berpenghuni. Setelah menjalani latihan khusus yang keras dan berat, ia berhak menyandang brevet Glider (baret hijau). Pelatihan dan pelajaran yang diperoleh antara lain berkelahi dan membunuh tanpa senjata, membunuh pengawal, penembakan tersembunyi, perkelahian tangan kosong, berkelahi dan membunuh tanpa senjata api. Sedangkan baret merah diperoleh melalui pendidikan komando di Special Air Service (SAS), pasukan komando Kerajaan Inggris yang sangat legendaris.

Selain itu, Visser juga mengantongi lisensi penerbang PPL-I dan PPL-II. Plus juga menjalani pendidikan spesialisasi Bren, pertempuran hutan, dan belajar bahasa Jepang. Visser kemudian mengikuti Sekolah Perwira karena dianggap berprestasi. Lalu ia bergabung dengan Koninklij Leger untuk memukul Jepang di Indonesia, meski Jepang keburu mundur dari Indonesia sebelum pasukan Visser sempat dikirim.

Hidup di Indonesia

Kekalahan militer Jepang membuatnya hengkang dari Indonesia. Hal ini membuka peluang Belanda kembali berambisi menguasai. Sehingga mereka tidak mampu mengirimkan pasukan bantuan dari Eropa ke Indonesia. Belanda pun melakukan persiapan besar-besaran di Australia dan Sri Lanka untuk kembali ke Indonesia.

Pimpinan militer Belanda melihat perlu membentuk pasukan khusus baik darat maupun udara, yang dapat dengan cepat menerobos garis pertahanan Indonesia. Setelah diangkat mejadi Panglima Tertinggi Tentara Belanda, Letjen Spoor sebagai komandan KNIL di Hindia Belanda mengemukakan rencananya membentuk pasukan infanteri berkualifikasi komando serta pasukan payung (parasutis) yang memperoleh pelatihan istimewa.


Pada 13 Maret 1946, Letnan de Koning dan Letnan van Beek dipanggil dari Sri Lanka untuk membuka School Opleiding Parachutisten (Sekolah Penerjun Payung) pada 15 Maret 1946. Agar tidak tercium pihak Republik, kamp pelatihan ditempatkan di Papua Barat. Bulan April, lokasi pelatihan dipindah ke Hollandia (Jayapura) dari Biak. Sekolah parasutis menempati sebuah bangunan rumah sakit milik Amerika yang telah ditinggalkan pasukan Jenderal Douglas MacArthur.

Ternyata Visser menyukai hidup di Indonesia. Meskipun kondisinya sangat berbeda dengan kehidupan di Eropa. Ia sempat pulang ke Inggris menemui keluarganya dan meminta istrinya, perempuan Inggris yang dinikahinya semasa PD II serta keempat anaknya, untuk ikut ke Indonesia bersamanya. Karena sang istri menolak, Visser memilih untuk bercerai. Tahun 1947, Visser kembali ke Indonesia.

Ternyata sekolah yang dipimpinnya sudah pindah ke Batujajar, Cimahi, Bandung. Tidak lama, Visser dipromosikan menjadi kapten dengan jabatan Pelatih Kepala. Dalam kurun 1947-1949, sekolah yang dipimpinnya terus mencetak peterjun militer.

Tahun 1949, Visser memutuskan keluar dari dunia militer dan memilih menetap di Indonesia sebagai warga sipil. Meskipun keputusan ini mengandung risiko tinggi karena saat itu sikap kebencian serta anti-Belanda tertanam kuat dalam setiap diri orang Indonesia.

Meskipun Visser berbaret merah, tetap saja tidak ada yang bisa menjamin keamanan mantan perwira penjajah di negeri bekas jajahannya ini. Namun ia tak gentar. Ia memilih menetap di sebuah lahan pertanian di daerah Lembang, Bandung. Di daerah sejuk ini pula fase kedua dalam kehidupannya di mulai, dengan memutuskan memeluk agama Islam dan menikahi kekasihnya, seorang perempuan Sunda. Sejak itu, Visser dikenal dengan Mochammad Idjon Djanbi.

Cetak pasukan komando

Suatu hari di tahun 1951, rumah Idjon Djanbi kedatangan seorang perwira muda. Si tamu memperkenalkan diri sebagai Letnan Dua Aloysius Sugianto dari Markas Besar Angkatan Darat (MBAD). Dalam pertemuan itu Idjon Djanbi diminta sebagai pelatih tunggal untuk melatih komando di pendidikan CIC II (Combat Inteligen Course) Cilendek, Bogor.

Tidak mudah membujuknya, sebab ia sudah hidup tenang di pedesaan sebagai petani bunga. Letda Sugianto tak kurang akal, dirinya sampai harus bermalam dua dua hari di situ. Usaha yang tak sia-sia karena akhirnya Idjon Djanbi bersedia sebagai pengajar sipil selama masa pendidikan tiga bulan. Usai pendidikan CIC II, Idjon Djanbi kembali menekuni profesi sebelumnya.

Tanggal 2 November 1951, Kolonel Kawilarang mendapat tugas baru menjadi Panglima Tentara & Teritorium III/Siliwangi, Jawa Barat. Kawilarang ingin mewujudkan cita-cita rekan seperjuangannya Letkol Slamet Rijadi untuk membentuk pasukan berkualifikasi komando. Pasukan khusus semakin dibutuhkan untuk menghadapi rongrongan DII/TII pimpinan Kartosowiryo di wilayah Jawa Barat yang semakin meningkat. Gagasan ini sulit terwujud tanpa menemukan pelatih berkualifikasi komando.


Akhirnya Kawilarang memperoleh informasi soal Idjon Djanbi. Ia lalu memanggil mantan ajudannya Letda Sugiyanto yang sudah pernah dididik Idjon Djanbi. Terhitung 1 April 1952, atas keputusan Menteri Pertahanan Sri Sultan Hamengkubuwono IX, memutuskan bahwa Idjon Djanbi diangkat menjadi mayor infanteri TNI AD dengan NRP 17665. Lalu ia lapor diri kepada Kolonel Kawilarang selaku Panglima Komando Tentara & Terirorium III/Siliwangi untuk menerima tugas.

Mayor (Inf) Idjon Djanbi segera melatih kader perwira dan bintara untuk membentuk pasukan khusus. Tanggal 16 April 1952 dibentuklah pasukan khusus dengan nama Kesatuan Komando Teritorium Tentara III/Siliwangi disingkat Kesko III di bawah komando Mayor Inf Idjon Djanbi. Inilah tanggal yang dijadikan hari jadi Kopassus hingga saat ini.

Satu tahun kemudian Satuan yang baru dibentuk ini diambil alih kendalinya langsung di bawah Markas Besar Angkatan Darat (MBAD). Tanggal14 Januari 1953, Kesko III berganti nama menjadi Kesatuan Komando Angkatan Darat (KKAD). Lanjut pada 25 Juli 1955, KKAD berubah nama menjadi Resimen Pasukan Komando Angkatan Darat (RPKAD) di bawah komando Mayor Mochammad Idjon Djanbi.

Setahun kemudian, RPKAD menyelenggarakan pelatihan terjun payung pertama. Hal ini dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan pasukan komando di Margahayu Bandung. Langkah ini diambil karena Indonesia merupakan negara kepulauan yang besar. Idjon Djanbi menginginkan prajurit RPKAD memiliki bekal sebagai pasukan payung, sehingga dapat digerakkan ke medan operasi menggunakan pesawat.

Dibuang

Masih di tahun 1956, pimpinan MBAD melihat celah untuk mengambil alih kepemimpinan RPKAD ke orang Indonesia. Buntutnya, Mayor Idjon Djanbi ditawari jabatan baru yang jauh dari urusan pelatihan komando dengan menjadi koordinator Staf Pendidikan pada Inspektorat Pendidikan dan Latihan (Kobangdiklat). Idjon Djanbi meminta pensiun dini akhir 1957. Idjon Djanbi yang telah menjadi WNI diberi jabatan mengepalai perkebunan milik asing yang telah dinasionalisasi.

Selepas dari sana ia berbisnis di bidang pariwisata dengan usaha penyewaan bungalow di Kaliurang, Yogayakarta.

Suatu hari di tahun 1977, Idjon Djanbi mengendarai mobil bersama keluarganya berlibur ke Yogyakarta. Tiba di sana, ia mengeluhkan sakit hebat di bagian perutnya. Keluarga segera membawanya ke rumah sakit Panti Rapih. Hasil diagnosa dokter diketahui bahwa Idjon Djanbi mengalami usus buntu dan harus dioperasi. Usai dua minggu dioperasi tidak kunjung sembuh malah bertambah parah. Ternyata usus besarnya turut bermasalah, sehingga jiwanya tidak tertolong lagi.

Idjon Djanbi tutup usia di rumah sakit Panti Rapih pada 1 April 1977. Keluarga memutuskan memakamkannya di TPU Yogyakarta. Idjon Djanbi dikebumikan jauh dari tembakan salvo penghormatan sebagai Bapak Kopassus Indonesia yang sangat berjasa mencetak Pasukan Komando berkelas dunia yang kini dikenal dengan nama Kopassus. (**ian)
Author: Eka Hindra

Silahkan dishare

Baca Juga



Sumber : angkasa.co.id
Ketika Seorang Komandan Harus Bersandiwara agar Anak Buah Bisa Tidur, Kisah yang Unik!

Ketika Seorang Komandan Harus Bersandiwara agar Anak Buah Bisa Tidur, Kisah yang Unik!

Ketika Seorang Komandan Harus Bersandiwara agar Anak Buah Bisa Tidur, Kisah yang Unik!

Patriot-bangsa - Operasi pembebasan sandera pembajakan pesawat Garuda DC-9 Woyla di Bandara Internasional Don Muang, Bangkok, Thailand, ditetapkan pada 31 Maret 1981. Pasukan yang akan melakukan penyerbuan adalah Tim Antiteror Kopassandha (kemudian Kopassus) dipimpin oleh Sintong Panjaitan.

Sebelum penyerbuan, Sintong menyadari kondisi anak buahnya sudah lelah dan kurang tidur akibat latihan terus-menerus dan beban tanggung jawab terhadap keberhasilan pelaksanaan tugasnya. Untuk mengurangi rasa lelah anak buahnya, dia bersandirwara. Dia keluar dari ruangan sambil berkata bahwa dia dipanggil. Padahal, sebenarnya tidak seorang pun memanggilnya.

Setelah masuk kembali, Sintong melempar senjatanya ke meja dan berkata, “Setengah mati kita latihan. Lupakan saja. Ternyata kita tidak jadi melakukan penyerbuan.” Dia menjelaskan, pasukan Thailand tidak mengizinkan pasukan Indonesia yang melaksanakan operasi pembebasan sandera. Mereka dapat menyelesaikannya dengan cara yang tampaknya berhasil.

“Jadi besok kita segera pulang. Matikan lampu, terus tidur,” kata Sintong. Ketegangan pun hilang dan anak buahnya tidur. Bahkan, beberapa orang di antaranya tidur mendengkur. Dia merasa senang melihat anak buahnya tidur pulas. “Mereka benar-benar tidur lelap untuk istirahat,” kata Sintong dalam biografinya, Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando.

Setelah kurang lebih satu jam, Sintong membangunkan mereka. Dia memberi aba-aba. “Lakukan persiapan. Kita jadi melaksanakan penyerbuan.” Anak buahnya yang telah segar bersiap dengan sigap dan penuh semangat.

Waktu penyerbuan pun tiba pada pukul 03.00 dini hari. Penyerbuan untuk membabaskan sandera dan melumpukan para pembajak hanya memakan waktu tiga menit. Disiapkan 17 peti jenazah untuk korban yang akan jatuh. Perkiraan itu meleset karena hanya diperlukan lima peti jenazah untuk kelima pembajak. Tak seorang pun sandera terluka. Korban dari Tim Antiteror yaitu Capa Ahmad
Kirang. Sementara pihak Garuda kehilangan kapten pilot Herman Rante. Pukul 05.00 waktu setempat, Tim Antiteror Kopassandha ditarik dari Bangkok kembali ke basis di Cijantung, Jakarta Timur.

Foto: Sintong Panjaitan, komandan Tim Antiteror Kopassandha, yang memimpin pembebasan sandera pembajakan pesawat Garuda DC-9 Woyla di Bandara Internasional Don Muang, Bangkok, Thailand.

Silahkan dishare

Baca Juga





Sumber: Kartono Riyadi/Kompas.

Wednesday, December 21, 2016

Mengenal Herlina Kasim dalam Kisah Klandestein, Wanita Pejuang Trikora, Hebat.!!!

Mengenal Herlina Kasim dalam Kisah Klandestein, Wanita Pejuang Trikora, Hebat.!!!

Mengenal Herlina Kasim dalam Kisah Klandestein, Wanita Pejuang Trikora, Hebat.!!!

Patriot-bangsa - Tanggal 1 Mei telah menjadi tradisi lumrah memperingati ‘Mayday’ atau Hari Buruh Internasional. Namun sejatinya, pada 1 Mei 1963 terdapat sejarah penting terintegrasinya Irian Barat ke dalam NKRI. Dalam operasi merebut kembali Irian Barat dari tangan Belanda tersebut, terdapat pula kisah klandestein wanita pejuang Trikora yang turut berjuang bersama TNI tanpa pamrih.

Bernama lengkap Herlina Kasim, wanita ini telah menamatkan pendidikan SMA pada tahun 1961. Tahun kekulusannya tersebut bertepatan ketika Presiden Soekarno mengobarkan semangat Trikora. Setelah lulus ia pun berkeliling Indonesia, hingga terdampar di Maluku. Di Maluku sendiri, Herlina merupakan pendiri Mingguan Karya yang berkantor di Ternate. Di wilayah Kodam XIV Pattimura nama Herlina sudah tak asing lagi lantaran ia sering menulis di mingguan tersebut.

Kebetulan situasi dan kondisi disana kian memanas menyusul dibentuknya Dewan Papua boneka Belanda. Sontak semagat juang Herlina pun meledak dan ia turut memimpin penduduk di sekitar tempat ia tinggal melakuakan aksi demonstrasi. Aksi ditujukan untuk menentang pembentukan Dewan Papua dan mengajak bersatu untuk merebut Irian Barat dari tangan penjajah Belanda.

Mengenal Herlina Kasim dalam Kisah Klandestein, Wanita Pejuang Trikora, Hebat.!!!

Merasa belum cukup hanya dengan melakukan aksi demo, Herlina yang sama sekali belum memiliki pengalaman terjun ternyata diam-diam mengajukan permohonan kepada Panglima Kodam XVI Pattimura agar dirinya turut di terjunkan di Irian Barat. Namun demikian, hal tersebut bukan kendala baginya dan dia pun siap diterjunkan sebagai barang pada Operasi Tri Komando Rakyat (Trikora) tersebut. Panglima Kodam XVI Pattimura akhirnya meluluskan permintaannya, dengan syarat semua ini akan menjadi rahasia antara Herlina dan dirinya kelak. Herlina pun diterjunkan bersama 20 orang sukarelawan lain untuk melakukan infiltrasi dan operasi gerilya di rimba belantara Irian Barat.

Trikora muncul karena adanya kekecewaan dari pihak Indonesia yang selalu gagal dalam upaya diplomasi melalui beberapa perundingan dengan Belanda untuk mengembalikan Irian barat yang secara sepihak yang diklaim oleh Belanda. Trikora dicetuskan oleh Presiden Soekarno pada tanggal 19 Desember 1961 di alun-alun utara kota Yogyakarta yang isinya :

1. Gagalkan berdirinya negara Boneka Papua bentukan Belanda
2. Kibarkan sang Merah Putih di Irian Jaya tanah air Indonesia
3. Bersiap melaksanakan mobilisasi umum

Setelah beberapa kota penting di Irian Barat berhasil kondisikan berkat operasi-operasi infiltrasi termasuk dengan penerjunan Herlina, akhirnya Belanda dan sekutu menyadari bahwa Indonesia tidak main-main untuk merebut kembali Irian Barat. Permasalahan Irian Barat akhirnya ditangani oleh PBB melalui United Nation Temporary Executive Authority (UNTEA). Atas desakan Amerika Serikat,akhirnya  Belanda bersedia menyerahkan Irian Barat kepada Indonesia melalui sebuah persetujuan bernama “New York Agreement”.

Sesuai dengan “New York Agreement”, pada tanggal 1 Mei 1963 berlangsung upacara serah terima Irian Barat dari UNTEA kepada pemerintah Republik Indonesia yang berlangsung di Hollandia (Jayapura). Dalam peristiwa itu bendera PBB diturunkan dan berkibarlah sangsaka merah putih yang menandai resminya Irian Barat menjadi provinsi ke 26 NKRI. Nama Irian Barat pun kemudian dirubah menjadi Irian Jaya.

Atas keberanian dan tekadnya dalam merebut Irian Barat, Herlina bersama para pejuang Trikora lainnya dianugerahi tanda jasa pada tanggal 19 Februari 1963 oleh Presiden Soekarno berupa sebuah pending atau ikat pinggang. Bukan pending biasa, benda itu terbuat dari emas murni seberat 500 gram ditambah dengan uang Rp 10 juta.

Pemberian tanda jasa itu dilakukan berdasarkan oleh Surat Keputusan Presiden/Panglima Tertingi Angkatan Perang Republik Indonesia/Panglima Besar Komando Tertinggi Pembebasan Irian Barat No. 10/PLM.BS- Tahun 1963. Hadiah tersebut terbilang cukup besar nominalnya jika ditotal (pada masa itu). Suri tauladan seperti ini tampaknya sudah sangat sulit kita jumpai saat ini.

Herlina bisa dibilang sebagai perempuan sukarelawati pertama yang berani terjun di belantara Irian Barat semasa Operasi Trikora. Pengalaman itulah yang membuat namanya masyhur sebagai salah seorang tokoh dalam sejarah operasi lintas udara di tanah air.

Silahkan dishare

Baca Juga





sumber:http://angkasa.co.id/

Tuesday, December 20, 2016

Menegangkan.! Kisah Heroik Kopassus Kibarkan Merah Putih di Tengah Hujan Peluru

Menegangkan.! Kisah Heroik Kopassus Kibarkan Merah Putih di Tengah Hujan Peluru

Menegangkan.! Kisah Heroik Kopassus Kibarkan Merah Putih di Tengah Hujan Peluru

Patriot-bangsa - Operasi Seroja tak hanya menyisakan luka, tapi juga ribuan kenangan yang tak terlupakan bagi setiap prajurit yang dilibatkan. Banyak kisah-kisah heroik dalam pertempuran merebut Kota Dili, Timor Timur dari tangan Fretilin.

Komando Pasukan Khusus (Kopassus) juga dilibatkan dalam pertempuran itu. Pasukan elite TNI Angkatan Darat itu diterjunkan dari udara bersama 35 prajurit Yonif Linud 501 Kostrad.

19 Prajurit Komando Pasukan Sandhi Yudha (Kopassandha/sekarang Kopassus) diterjunkan dari udara. Mereka bertugas merebut lokasi-lokasi strategis dari tangan musuh, yakni kantor gubernur, lapangan terbang dan pelabuhan. Tugas lainnya adalah membantu mengamankan Korps Marinir yang akan masuk melalui laut.

Pertempuran itu dilukiskan dalam buku biografi 'Letjen (Purn) Soegito: Bakti Seorang Prajurit Stoottroepen', yang ditulis Beny Adrian. Cetakan pertama tahun 2015, yang diterbitkan PT Gramedia, Jakarta.

Jelang Subuh, tepatnya tanggal 7 Desember 1975, seluruh pasukan diterjunkan dari pesawat Hercules C-130. Belum mencapai tanah, hujan tembakan sudah bermunculan. Akibatnya, beberapa prajurit tewas terkena peluru saat payung masih mengembang.

Operasi Seroja 2015 buku hari "h": 7 desember 1975

Sebagai perwira, Mayor Atang Sutresna mendapat tugas tambahan, dalam Operasi Seroja, ditunjuk sebagai Komandan Detasemen Tempur (Dandenpur). Dia diperintahkan membawa bendera merah putih. Tujuannya hanya satu, memberi tanda lokasi yang sudah direbut dari tangan musuh.

Semula, tugas ini dipandang mudah. Apalagi, informasi intelijen menyebutkan Tropaz dan Fretilin diyakini seperti hansip dan kamra. Setelah terjun ke medan pertempuran, ternyata informasi tersebut salah, musuh menembaki pasukan TNI secara membabi buta.

Tugas semakin berat karena tempat pengibaran bendera berada di tengah lapangan, depan kantor gubernur, sebuah lokasi yang sangat terbuka dari tembakan musuh. Hanya prajurit nekat yang bisa melakukannya.

Setelah mencapai darat, Mayor Atang segera memberikan tugas tersebut kepada dua prajuritnya, yakni Koptu Sugeng dan Koptu Suhar. Sedangkan dia memberikan tembakan perlindungan, sekaligus mengalihkan perhatian musuh.

Koptu Sugeng dan Koptu Suhar langsung berlari menuju lokasi pengibaran bendera. Dengan cepat, bendera Fretilin segera diturunkan, diganti dengan merah putih. Sementara, suara desingan peluru sudah semakin dekat.

Merah putih baru setengah naik, satu peluru mengenai kaki Koptu Sugeng. Tapi hal itu tidak meruntuhkan semangatnya. Dia hanya berucap singkat, "Har, aku kena."

Operasi Seroja 2015 buku hari "h": 7 desember 1975

Kata-kata itu ditanggapi dingin oleh Koptu Suhar. Dia tetap mengerek bendera agar segera mencapai puncaknya. Bunyi desing peluru juga semakin banyak.

Tak lama, pengerekan bendera selesai. Keduanya langsung mencari tempat perlindungan. Mereka juga melaporkan hasil penugasannya pada Mayor Atang. Sementara Koptu Sugeng memeriksa kakinya yang terkena tembakan, setelah dicek, ternyata peluru hanya mengenai kantong minumannya.

Hujan tembakan membuat Mayor Atang geregetan untuk menyudahinya. Dia berusaha bergerak mendekati lokasi persembunyian musuh. Namun, niat tersebut tidak disetujui anak buahnya, koptu Sugeng.

"Pak, tembakan masih ramai dari situ," ujar Sugeng sembari menunjuk ke salah satu lokasi.

Kekhawatiran anak buahnya tidak ditanggapi oleh Mayor Atang. Dia tetap berusaha keluar dari tempat perlindungannya. Malang, baru 25 meter, peluru Fretilin menembus perutnya. Satu peluru lainnya, tepat mengenai kepala.

Bendera Merah Putih berkibar di tengah pertempuran. Tapi hari itu Kopassus kehilangan seorang perwira terbaiknya.

Silahkan dishare

Baca Juga




Sumber: https://www.merdeka.com

Monday, December 19, 2016

Mengenal Kehebatan Yum Soemarsono, Sang Pilot Heli Bertangan Satu, Luar Biasa.!!

Mengenal Kehebatan Yum Soemarsono, Sang Pilot Heli Bertangan Satu, Luar Biasa.!!


Mengenal Kehebatan Yum Soemarsono, Sang Pilot Heli Bertangan Satu, Luar Biasa.!!

Patriot-bangsa - Nama Yum Soemarsono sudah melegenda di dunia penerbangan helikopter tanah air. Menjadi teknisi, penerbang, sekaligus pembuat helikopter saja sudah membuat orang lain menggelengkan kepala. Keunikannya ternyata tak sampai di situ. Yum bisa memperbaiki dan menerbangkan helikopter hanya dengan satu tangan!

Yum justru baru mulai belajar menerbangkan helikopter. di tahun 1950-an ia berangkat ke AS untuk melakoni sekolah formal menjadi pilot heli. Ternyata, kesempatan belajar di AS tidak disia-siakan begitu saja. Di sela-sela waktunya, Yum mengikuti Helicopter Design course di Stanford University.

Sepulangnya ke Indonesia, Yum mendapat pukulan telak akibat hilangnya Soemarkopter helikopter ketiga yang ia buat. Cobaan ini tidak membuatnya putus asa. Ia terus berkarya untuk kemajuan penerbangan helikopter tanah air. Tahun 1963 Soekarno kepincut dan memilih Yum menjadi pilot helikopter kepresidenan.

Dari situ ia berkenalan dengan Ahmad Yani. Dari Ahmad Yani dan Soekarno pulalah Yum mendapat dorongan untuk membangun sebuah helikopter lagi.


Yum kemudian ditempatkan di Pindad untuk merancang helikopter buatannya yang diberi nama Kepik. Di saat yang sama, Nurtanio juga sedang diberi tanggung jawab untuk menyelesaikan perakitan helikopter Benson yang baru dibeli Indonesia. Saat itu, Yum dibantu oleh Senduk, Achmad, dan Tosin.

Seperti yang diceritakan oleh wartawan senior Angkasa Dudi Sudibyo dalam buku seri Kisah Hebat di Udara 2, mesin terbang keempat inilah yang hampir merenggut nyawa Yum Soemarsono. Saat ingin lepas landas dan terbang ke Jakarta dari halaman Pindad, Maret 1964, Yum memegang kemudi Kepik. Mesinnya meraung kian tinggi, bersamaan dengan putaran rotor yang kian cepat.


Roda Kepik sudah tak sabar ingin lepas dari tanah. Sayang, saat mesin makin digeber, salah satu bilah rotor lepas. Bagaikan pisau tajam, bilah baling-baling itu lewat persis di depan dahi Yum dan menebas tangan kirinya, terlempar tak tentu arah, sampai terhenti akibat menabrak tembok.

Penerbangan ini merupakan penerbangan Kepik yang ke tujuh setelah sebelumnya sukses melaksanakan uji terbang di sekitaran Bandung, Jawa Barat. Sedianya, Kepik akan mendarat di depan Presiden Soekarno dan Ahmad Yani.



Dalam musibah ini Yum harus kehilangan salah seorang asisten terdekatnya, bernama Dali. Yum pun butuh waktu hampir dua tahun untuk memulihkan cedera fisik dan psikologisnya. Ia dengan halus menolak hampir seluruh bantuan rumah, tanah, dan kendaraan dari Soekarno. Keinginan Yum hanya satu, ia ingin terbang lagi.

Sekitar satu minggu sebelum peristiwa Gestapu meletus tanggal 27 September 1965, Yum berhasil terbang kembali dengan helikopter Hiller. Akibat kisruh nasional itu, Yum beralih dari pilot heli kepresidenan menjadi pilot penyemprot hama tebu dan kelapa.

Bagaimana Yum bisa terbang lagi dengan satu tangan? Memang dasarnya belajar dari pengalaman, Yum menciptakan sebuah alat pengendali khusus untuk lengannya yang diamputasi. Pria kelahiran Purworejo, 10 April 1916 ini menyebut alat ciptaannya itu dengan nama Throttle Collective Device.

Awalnya, Throttle Collective Device dibuat hanya untuk helikopter Hiller. Namun saat Solichin GP, mantan Gubernur Jawa Barat meminta bantuannya untuk menghidupkan kembali heli Bell 47J2 yang dibeli dari TNI AL, Yum Soemarsono menyempurnakan ciptaannya itu agar lebih sesuai dengan helikopter yang lebih mondern. Bell 47J2 yang dihidupkan Yum kemudian diberi nama Si Walet.

Yum selalu menggunakan Throttle Collective Device ciptaannya saat menerbangkan helikopter, hingga saat Si Walet dijual. Yum mencopot alat istimewa itu dan disimpannya baik-baik di rumahnya sebagai kenang-kenangan.


Selepas terbang bersama Si Walet, pria yang karirnya dimulai di Artellerie Constructie Winkel, atau bengkel peralatan militer di Surabaya ini sempat menggunakan Throttle Collective Device di Prancis. Saat itu ia diundang oleh seorang pemilik museum pesawat pribadi di Prancis tahun 1990. Aksinya terbang dengan heli Bell 47G dan alat uniknya tak ayal mengundang decak kagum para penggemar penerbangan yang hadir saat itu.

Throttle Collective Device ini hingga detik ini masih teramat jarang, atau bahkan mungkin tidak ada yang lain. Setidaknya, belum ada literatur yang menceritakan soal ‘teknologi’ Throttle Collective Device, terutama untuk membantu kaum difabel menerbangkan helikopter.

Yum Soemarsono sendiri tutup usia tanggal 5 Maret 1990. Ia meninggalkan legacy yang lebih berharga dari sekedar harta untuk bangsa ini. Yum Soemarsono, pria yang kecilnya cuma terbengong melihat pesawat berterbangan di pinggir landasan Tidar, Magelang ini membuktikan bahwa kemampuan bangsa Indonesia tak kalah dengan orang-orang Eropa dan Amerika.

Silahkan dishare.

Baca Juga




Sumber:http://angkasa.co.id/